Sidikutama.my.id | Surabaya, Stasiun Wonokromo, yang terletak di kawasan bersejarah Kota Surabaya, pernah menjadi saksi bisu geliat kehidupan masyarakat pada era 1970-an. Pada tahun 1974, stasiun ini menjadi pusat aktivitas warga yang hendak bepergian ke luar kota maupun kembali ke Surabaya. Berlokasi di wilayah yang dulu dikenal sebagai Kota Sawunggaling, Stasiun Wonokromo bukan hanya bangunan fisik, tetapi juga nadi penghubung pergerakan sosial dan ekonomi masyarakat Jawa Timur.
Saat itu, Stasiun Wonokromo masih mempertahankan desain arsitektur kolonial peninggalan Hindia Belanda yang kental. Suasana stasiun begitu khas: bangku kayu panjang, loket manual, dan suara peluit masinis yang menggema setiap kereta akan berangkat. Kereta api ekonomi menjadi moda andalan rakyat, menghubungkan Surabaya dengan kota-kota lain seperti Malang, Madiun, dan Jombang. Tahun 1974 menjadi masa-masa sibuk, terutama menjelang Lebaran, saat ratusan penumpang memadati peron.
Di sekitar stasiun, kehidupan masyarakat Kota Sawunggaling juga berjalan dinamis. Pasar tradisional, warung kopi, dan pedagang asongan mengelilingi area stasiun, menciptakan ekosistem ekonomi kecil yang hidup. Banyak warga yang menggantungkan hidup dari aktivitas harian di stasiun: mulai dari tukang becak, penjaja koran, hingga porter yang sigap membantu mengangkat barang. Anak-anak kecil sering terlihat bermain di pinggiran rel, sesuatu yang kini hampir tak terlihat lagi.
Pada masa itu, keberadaan stasiun bukan hanya untuk transportasi, melainkan juga menjadi tempat berkumpul dan bertukar cerita. Tak jarang, keluarga yang menanti kedatangan kerabat duduk berlama-lama di peron, membawa bekal dari rumah. Stasiun Wonokromo seolah menjadi jantung emosional masyarakat setempat penuh harap, tangis perpisahan, dan tawa bahagia menyambut kepulangan orang tersayang.
Namun, seiring waktu dan perkembangan kota, wajah Stasiun Wonokromo perlahan berubah. Modernisasi mulai menggerus nuansa klasiknya. Banyak bangunan di sekitar stasiun yang kini telah berganti fungsi, dan nama “Kota Sawunggaling” pun mulai tenggelam dalam ingatan generasi muda. Meski begitu, kenangan tahun 1974 tetap hidup dalam ingatan para warga lama, yang merasakan langsung denyut kehidupan stasiun pada masa keemasannya.
Kini, Stasiun Wonokromo masih berdiri, meski tak sepopuler dulu. Namun kisahnya pada tahun 1974 tetap menjadi bagian penting dari sejarah urban Surabaya, khususnya wilayah Kota Sawunggaling. Menelusuri jejak masa lalu ini bukan sekadar nostalgia, melainkan juga pengingat betapa pentingnya menjaga warisan budaya dan sejarah kota yang pernah berjaya melalui rel-rel kereta api.
Reporter : Ihwan
