JATIM || sidikutama.my.id - 17 Desember 2025 - Pada sekitar tahun 1984, televisi bukan sekadar barang elektronik, melainkan jendela utama dunia bagi banyak keluarga. Layar tabung berwarna yang masih tebal dan berat itu menjadi pusat perhatian di ruang tamu. Setiap malam, anggota keluarga berkumpul, duduk lesehan atau di sofa sederhana, menanti acara favorit yang tayang pada jam-jam tertentu.
Di masa itu, tidak ada remote canggih atau ratusan saluran. Mengganti kanal harus memutar knop, dan pilihan acara sangat terbatas. Namun justru di situlah letak keistimewaannya. Tayangan berita, film keluarga, sandiwara radio visual, hingga acara musik menjadi momen yang ditunggu bersama, tanpa gangguan notifikasi atau ponsel pintar.
Suasana menonton televisi pada era 80-an terasa begitu hangat dan akrab. Anak-anak duduk paling depan, orang tua di belakang, sambil sesekali berbincang atau memberi komentar tentang apa yang ditonton. Cemilan sederhana seperti kacang, singkong goreng, atau teh hangat menemani kebersamaan yang terasa tulus dan penuh keakraban.
Televisi juga menjadi sarana edukasi dan informasi utama. Berita malam dipercaya sebagai sumber kabar paling valid, sementara tayangan anak mengajarkan nilai moral, kedisiplinan, dan kebersamaan. Banyak kenangan masa kecil terbentuk dari adegan-adegan yang disaksikan bersama di depan layar kaca itu.
Tak jarang, listrik padam menjadi cerita tersendiri. Saat layar mendadak gelap, keluarga tetap berkumpul, melanjutkan obrolan atau mendengarkan cerita orang tua. Hal ini menunjukkan bahwa televisi hanyalah pemantik, sementara kebersamaanlah inti dari segalanya.
Kini, ketika setiap orang memiliki layar di genggaman masing-masing, kenangan menonton televisi bersama pada tahun 1984 terasa begitu berharga. Ia mengajarkan bahwa kebahagiaan tidak selalu datang dari teknologi canggih, melainkan dari waktu yang dibagi bersama keluarga, penuh tawa, cerita, dan rasa memiliki.
Reporter : Ihwan
